Jumat, 22 Juni 2012

OMPU MAMONTANG LAUT AMBARITA, SIAPA SIH?

MARI kita mulai dari silsilah Si Raja Batak. Si Raja Batak, punya dua anak:
1) Guru Tatea Bulan, dan
2) Raja Isumbaon

Guru Tatea Bulan punya 9 keturunan: 5 anak dan 4 perempuan
1. Raja Uti alias Raja Sigumeleng geleng alias Raja Biak biak, nasiat tu dalahi na siat tu namarbaju, na saoar tu namatua saor tu dakdanak. Sakti dan bisa bersalin rupa, wajahnya (maaf) mirip babi.
2. Saribu Raja (sekarang punya keturunan Pasaribu, Tanjung, Lubis, dll)
3) Limbong Mulana (sekarang keturunannya Limbong)
4) Sagala Raja (Sagala)
5) Silau Raja

Keturunan perempuan:
1) Namboru Nantinjo Nabolon
2) Siborupareme
3) Siboru Biding Laut alias Boru Anting Haomasan, diyakini sebagai Nyi Roro Kidul
4) Siboru Haomasan alias Bunga Haomasan
Banyak versi menyebut urutan anak perempuan, yang menempatkan Namboru Nantinjo Nabolon sebagai bungsu. Namun dongeng yang saya terima dan yakini, dia anak perempuan paling besar.

Silau Raja memiliki empat anak:
1) Malau Raja
2) Manik Raja
3) Ambarita Raja
4) Gurning Raja


Ambarita Raja memiliki dua anak,
1) Ambarita Lumban Pea
2) Ambaria Lumban Pining

Ambarita Lumban Pea memiliki dua anak
1) Op Oborlan/Ompungni Allagan (tanpa keturunan laki laki)
2) Op Bona Nihuta

Op Bona Nihuta punya satu anak Op Suhut Nihuta, dan anak tunggal dari Op Suhut Nihuta adalah Op Tondol Nihuta.

Op Tondol Nihuta ada empat
1) Martua Boni Raja (Op Mamontang Laut, kemudian merantau dari Samosir Sekarang Kabupaten Toba Samosir ke SIHAPORAS, di Kabupaten Simalungun, di atas Ujung Mauli atau Sipolha, arah utara dari Pulau Samosir. Om Mamontang Laut dua kali menikah, pertama Boru Sitio dari Simanindo, Samosir (tanpa keturunan), dan kedua Boru Sinaga dari Sibaganding, Parapat.
2) Op Raja Marihot
3) Op Marhajang
4) Op Raja Numbul


Melihat Silsilah di atas, mestinya keturunan Op Oborlan yang menjadi penerus generasi, sebagai anak sulung, namun karena tidak memiliki anak laki laki, pewaris dan menjadi abangan pada Ambarita Lumban Pea adalah Op Mamontang Laut.

Anak Op Mamontang Laut ada tiga
1) Op Sohailoan di Aek Batu, Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Simalungun
2) Op Jaipul di Sihaporas Bolon, (antara lain keturunanya saya, Domu D Ambarita)
3) Op Sugara di Motung, Tobasa

(Silsilah selanjutnya keturunan Om Mamontang Laut, sampai ke saya generasi 16 (Kalau mau disebut Ambarita pakai nomor, saya Nomor 16, itu pun kalu mau). Bagi anda yang memerlukan. bisa kontak saya. Saya punya silsilah lengkap, dari jalur Keturunan Op Jaipul/Br Sinaga > Op Niantan/Br Sinaga > Op Rumain/Br Napitu/Br Sinaga > Op Lemok/ Br Silalahi > Op Gabuk/Br Napitu. Silsilah ini kami susun bersama A Novi Ambarita (kami berdua keturunan Op Lemok Ambarita, nini atau cicit dari Op Jaipul Ambarita.

***

SIHAPORAS

Ompu Mamontang Laut yatim piatu sejak remaja. Sekali waktu, ada ulaon adat, pesta gondang tujuh hari tujuh malam di Ambarita yang dilakukan bapak tua/bapak udanya. Sebagai anak yatim/piatu, Martua Boni Raja (Op Mamontang Laut) remaja sering menjadi pesuruh. Dia dan adik perempuannya diperlakukan seperti anak tiri, pesuruh.

Dalam situasi kontras, pesta dan pesakitan. Dalam pesta gondang seminggu penuh, Op Mamontang Laut dan adik perempuannya ditugasi mamuro dan marmahan (menjaga padi menguning di sawah dan menggembala kerbau).

Musibah tiba. Mungkin karena kurang terjaga, hewan gembalaan 'mardando', meronta, lari dan melahap tanaman berharga, padi. Ketika bapak tua/bapak uda usai berpesta pora mengetahui hal ini, Om Mamontang Laut dan adiknya disanksi. Bahkan, saking emosi memuncak ke ubun-ubun, adik perempuannya dikubur hidup-hidup di sawah, dekat Ambarita. Lokasinya, dekat jalan antara Tomok dan Ambarita.

Karena tidak kuat menghadapi situasi itu, ia pun bertapa dengan bimbingan Raja Uti, Raja Sisimangaraja (sekarang disebut Sisimangaraja, berenya Raja Uti), dan Namboru Nantinjo Nabolon. Pertapaan dilakukan di Pusuk Buhit, Samosir.

Usai mendapat bekal ilmu dan kekuatan, dia meninggalkan kampung Lumban Ambarita di Samoris. Dia menyeberang laut dengan perahu hanya selembar daun sukkit, mirip perahu. Sebagai bekal, dia membawa tikar 7 lapis sebagai tempat berdoa, pisau halasan dan ulos.

Mukzijat dari pertolongan Mula Jadi Nabolon, (Baca: Tuhan), ia berhasil menyeberangi Danau Toba nan luas dan dalam itu, setelah di perantauan dia mengubah nama menjadi MAMONTANG LAUT (Penyeberang Laut).

Pertama kali tiba di daratan dekat Sipolha. Karena takjub melihat bukit nan indah ditepi pantai danau toba, di bawah jalan dari Tanjung Dolok - menuju Tambun Raya), ia menamai tempat itu Dolok Mauli, belakangan disebut Ujung Mauli.

Lama-lama di sana, dia kemudian membuat perabu dari kayu, atau solu. Sekali waktu, dia pun rindu ke Samosir, dan menggunakan persahu itu dia pergi dan pulang menyeberang Danau Toba mendayung perahu.

Dari Ujung Mauli, Op Mamontang Laut tertarik ke atar utara, di balik bukit. Di sana dia menemukan satu bukit bebatuan, yakni Bukit Simaringga, yang membuatnya teringat tempat pertapaan di Pusuk Buhit. Dia pun tertegun melihat keindahan alam, dan kemudian memberi salam Toba, horas.

Lalu dia pergi ke sungai, di sana ditemukan banyak sekali ikan-ikan kecil, bercurak putih mengilap dan hitam, namanya pora-pora. Berawal dari sapaan horas dan pora-pora inilah dia menamai kawasan hutan itu menjadi SIHAPORAS, dan dialah Tuan Sihaporas.

Tuan Sihaporas, bukan Op Jaipul Ambarita, melainkan Op Mamontang Laut. (Catatan: Saya, Domu D Ambarita juga keturunan Op Jaipul).

Perahu itulah alat transportasi ketika dia membawa kuda dari Samosir, menemani 'panangga' atau anjing pemberian tuang Sipolha bermarga Manik. Solu/perahu ini pula digunakan untuk mengangkut istrinya, Boru Sitio dari Simanindo di Samosir.

Setelah sekian tahun berumah tangga tidak memiliki keturunan, Op Mamontang Laut meminta izin Ombung Boru Sitio menikah lagi. Dan diizinkan, lalu dinikahi Op Boru Sinaga dari Sibaganding, Pasir, Parapat.

Dua istri rukun. Namun belakangan, Op Boru Sitio meminta dikembalikan ke orangtuanya di Simanindo.
***
Nama Anak
Ompu Mamotang Laut rupanya menamai tiga anaknya, daris atu peristiwa. Suatu waktu, mereka berburu rusa ke hutan. Sudah menjadi kebiasaan, orang pegunungan sering menyalakan api, membakar semak-semak.

Namun hari itu menjadi sial, naas. Api yang mereka nyalakan justru membesar dan membakar hutan. Om Mamotang Laut dan tiga anaknya, berusaha sekuat tenaga memadamkan api. Namun rupanya, situasi berkata lain.

Semakin kuat mereka mengarahkan tenaga, namun api tidak terpadamkan (Bahasa Toba: ndang atau SO HA ILOAN, so tar pamate); semakin kuat ranting kayu diayunkan ke api, lidah api justru makin berkobar (Bahasa Toba: MARIPUL-IPUL); dan api justru semakin menyala (GARA dalam bahasa Toba).

Setelah lelah, dan untuk mengembalikan tenaga, mereka bertempat istirahat di kejauhan, sambil meratapi nyala api. Lalu, Ompu Mamontang laut terilhami tiga istilah dari kebakaran di atas untuk menamai anak-anaknya.

"Oi anaha siangkangan si Sohailoan mo ate goarmu, ho sibitonga Jaipul maho, jala ho siampudan om Sugara ma goarmu." Hei kamu anak sulungku, namanu Empu Sohailoan ya, dan anak kedua Empu Jaipul, dan anak bungsu Sugara. Belakangan, ketiga anaknya itu dinamai keturannya menjai Ompu; Op Sohailoan, Op Jaipul dan Op Sugara.

***
MOTUNG
Konon, ketika tiga ompung itu masih remaja, doli-doli, mereka diajak OP Mamontang Laut, berburu rusa di hutan Motung-motung. Ada ada satu tanaman has, berdaun bulat dan lebar, lebih 2-3 kali lebar dari daun jati, namanya Motung.

Hari itu, perburan rusa berbeda dari lainnya. Satu rusa jantan besar muncul di tengah hutna Motung, dan diendus anjing pemburu yang dibawa ompung.

Op Sugara memiliki anjing kesayangannya. Dia betul-betul sayang pada hewan ini. Dan si anjing kesayangan pemburu ulung itu, paling gigih memburu atau mengejar rusa tersebut. Saking sayangnya Op Sugara, dia terus mengikuti ke arah suara anjing menggonggong. Tanpa disadari, dia teramat jauh mengikuti si anjing yang mengejar rusa, dan akhirnya Op Sugara terpisah dari Op Mamontang Laut, ayanya, dan dua abangnya, Op Sohailoan dan Op Jaipul.

Jika kelak dia menetap di Motung, berarti Op Sugara telah melintasi tempat di tepian Danau Toba, yang sekarang tersohor dengan nama Parapat, puluhan kilometer ke arah tenggara Sihaporas.

Dalam perburuan itu, masing-masing orang biasa menenteng bekal dalam 'hadang-hadangan', ayaman. Di dalam hadang-hadangan itu ada biji-bijian padi, dan timun. Itulah yang ditanam menjadi bekalnya kelak. Lama-kelamaan, Op Mamontang Laut menetap di ketinggian bukit, di Motung, Tobasa.

Diduga, memori akan hutan Motung-motung, awal perburuan yang membawanya kesasar sampai jauhlah yang membuat Op Sugara menamai kampungnya, MOTUNG.

***
Tewas
Pertemuan pertama keturunan ketiga ompung ini mulai dilakukan tahun 1972. Sejak saat itu, ada permufakatan dan kesepakatan mendirikan tugu Op Mamontang Laut Ambarita di Lumban Ambarita Sihaporas, menunggang kuda dengan tombak tertancap di pinggang. Mengapa? Konon karena Om Mamontang Laut tidak mau melupakan sejarah, ingin keturunannya tahu, bahwa dia tewas karena ditombak penjahat di Simarimbun, Siantar.

Konon, ompung ini sangat sakti. Namun dia sengaja ditombak dalam keadaan tidak siaga, dan hujan lebat sekali. Dia melintas, menunggang kuda.

Dia sering rapat dengan raja-raja di Siantar, rapat dengan Raja Tanah Jawa, dan Tuan Siantar marga Damanik. Ketika ompung sering ditawari agar menjadi Manik/Damanik. Dalam rapat, Tuan Siantar meminta Ompung ini agar mengubah marga, sehingga menjadi kuat karena berada di Simalungun, yang banyak marga Damanik. (Mungkin ini salah satu mengapasaat ini masih banyak Ambarita menggunakan marga Manik/Damanik.Jangankan Ambarita, orang suku lain saja seperti Jawa, China dll banyak memakai marga Manik/Damanik.)

Ditawari menjadi marga 'bangsawan', Ompung Mamontang berusaha hormat dan menolak dengan lembut. Dia berdalih agar tarombo/silsilah dari Ambarita di Pulau Samosir tetap utuh, dan diwariskan, maka dia tetap memilih Marga Ambarita. Dan abangnya, Tuan Siantar, dapat menerima argumentum Op Mamontang Laut sebagai Tuan Sihaporas.

Ketika berhalangan rapat ke Siantar, Ompu Mamontang Laut punya cara tersendiri memberitahukan alasan absen. Dia akan menulis surat, bukan dikirim melalui burung merpati, melainkan menggantungkan bungkusan surat (atau tanda barangkali jika belum kenal huruf) pada leher anjingnya.

Telah terjalin kesepakatan sebelumnya, jika tidak hadir, maka Op Mamontang Laut akan kirim surat via kurir hewan. Dan sebagai tanda surat tiba di tempat tujuan, Tuan Siantar akan menggantungkan satu buah kelapa di leher anjing untuk dibawa ke Sihaporas.

Dan, duo kuda-anjing itulah yang mengabari kematian Op Mamontang Laut yang ditombak saat menunggang kuda. Anjing dan kuda berlumur darah, dari Siantar kembali ke Sihaporas, berjarak kurang lebih 30 kilometer, tanpa tuan. Sesampai di tengah halaman, kuda mencibirkan bibir sambil meringkik, dan anjing mengonggong-melolong.

Dua anaknya, beserta Op Boru Sinaga menangis, sedih, tapi ketakutan, dan tidak berani mencari jasad orangtua yang mereka sayangi. "Bapak yang sakti saja mati, apalagi kita. Mana bisa melawan?" begitulah kekalutan mereka.

Dan akhrinya mereka memutuskan, "Apalah kita. Tidak usah mencari bapak, dan membiarkan begitu saja. Apa boleh buat, kalau kita cari, dan bertemu musuhnya, kita takut, malah dibunuh lawan-lawan bapak yang pasti sangar dan bengis."

Berada dalam dilema, antara mencari dan menemukan sang bapak, ataukah membiarkannya karena takut, pecundang. Kurang kekompakan, tidak bahu-membahu.

Itulah yang masih ditangisi Op Mamontang Laut, kalau dia 'marhuta', 'dijou' atau 'kesurupan', atau 'trance,' sehingga dia berketetapan hari, mempertahankan tombak tetap tertancap di pinggangnya.

Hai pemuda dan pemudi...
Hai semua Pomparan Ompu Mamontang Laut Ambarita...
Yang jumlahnya kini mungkin sudah ratusan ribu. Ada petani, nelayan, tukang beack, sopir, pelajar, pedagang, guru, wartawan, pengacara, polisi, jaksa, tentara, pejabat, dan macam-macam akankah kita individualistis?
Apakah kita terus sombong, dan mau menang sendiri?
Apakah kita mau tetap jadi pecundang, hanya pesuruh dan diperalat orang lain, sekalipun mengkhianati perjuangan Op Mamontang Laut?

Apakah sudah ada Ambarita jadi Bupati, Wali Kota, Gubernur, Jenderal, Menteri?

Tak perlu dijawab dengan kata-kata
Karyamulah yang ditunggu:
Untuk wujud pelestarian adat-istiadat Batak yang diajarkan Op Mamontang Laut,
Untuk generasi penerus Ambarita,
Untuk suku bangsa Batak
Untuk Bangsa dan Negara, dan
Untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Rahim.

Disusun dari dongeng, Op Mamontang Laut, Namboru Nantinjo Nabolon, Sejarah yang disepakati dan dirembukkan tetua Sihaporas, spesial mendiang amang dan inang, Jahia Ambarita/Porti Napitu (Op Herbina)

Sumber : Domu D. Ambarita

TAROMBO BATAK..!!!

Tarombo Batak ialah silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku bangsa Batak. Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat suku bangsa Batak untuk mengetahui silsilahnya agar mengetahui letak hubungan kekerabatan terkhusus dalam falsafah Dalihan Natolu.
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Raja Batak dan keturunannya
o 1.1 Guru Tatea Bulan
+ 1.1.1 Raja Biakbiak
+ 1.1.2 Saribu Raja
# 1.1.2.1 Raja Lontung
# 1.1.2.2 Raja Borbor
+ 1.1.3 Limbong Mulana
+ 1.1.4 Sagala Raja
+ 1.1.5 Silau Raja
o 1.2 Raja Isumbaon
+ 1.2.1 Tuan Sorimangaraja
# 1.2.1.1 Raja Naiambaton
# 1.2.1.2 Raja Nairasaon
# 1.2.1.3 Tuan Sorbadibanua
* 2 Padan atau janji antar marga
o 2.1 Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
* 3 Sumber dan rujukan
Raja Batak dan keturunannya
Dalam tarombo Batak (silsilah garis keturunan suku bangsa Batak) dimulai dari seorang individu bernama Raja Batak.
Raja Batak berdiam diri di Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula. Sehingga Pusuk Buhit dapat dikatakan sebagai daerah induk asal-mula suku bangsa Batak yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru.
Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putera, yaitu:

1. Guru Tatea Bulan (Naimarata)
2. Raja Isumbaon
Guru Tatea Bulan mempunyai 5 (lima) orang putera, yaitu:

1. Raja Biakbiak
2. Saribu Raja
3. Limbong Mulana
4. Sagala Raja
5. Silau Raja
Raja Biakbiak
Raja Biakbiak adalah putera sulung Guru Tatea Bulan.

Raja Biakbiak atau juga disebut dengan Raja Uti tidaklah mempunyai keturunan.
Saribu Raja
Saribu Raja adalah putera kedua Guru Tatea Bulan.

Saribu Raja mempunyai 2 (dua) orang putera yang dilahirkan oleh 2 (dua) isteri. Isteri pertama Saribu Raja adalah Siboru Pareme yang melahirkan Raja Lontung dan isteri kedua Saribu Raja adalah Nai Mangiring Laut yang melahirkan Raja Borbor.
Raja Lontung
Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) orang putera, yaitu:

1. Sinaga, menurunkan marga Sinaga dan cabang-cabangnya
2. Situmorang, menurunkan marga Situmorang dan cabang-cabangnya
3. Pandiangan, menurunkan Perhutala dan Raja Sonang dan cabang-cabangnya
4. Nainggolan, menurunkan marga Nainggolan dan cabang-cabangnya
5. Simatupang, menurunkan marga Togatorop, Sianturi dan Siburian
6. Aritonang, menurunkan marga Ompu Sunggu, Rajagukguk, dan Simaremare
7. Siregar, menurunkan marga Siregar dan cabang-cabangnya
Raja Borbor
Keturunan Raja Borbor membentuk rumpun persatuan yang disebut dengan Borbor yang terdiri dari marga Pasaribu, Batubara, Harahap, Parapat, Matondang, Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis, Batubara, Pulungan, Hutasuhut, Tanjung serta Daulay.

Keturunan Limbong Mulana sebagai putera ketiga Guru Tatea Bulan memakai marga Limbong
Sagala Raja

Keturunan Sagala Raja sebagai putera keempat Guru Tatea Bulan memakai marga Sagala.
Silau Raja

Silau Raja sebagai putera bungsu Guru Tatea Bulan menurunkan marga Malau dan cabang-cabangnya.
Raja Isumbaon
Raja Isumbaon adalah putera bungsu Raja Batak.
Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putera, yaitu:

1. Tuan Sorimangaraja
2. Raja Asiasi
3. Sangkar Somalidang

Khusus keturunan Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang hingga saat ini belum diketahui pasti siapa keturunan mereka.
uan Sorimangaraja
Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 (tiga) orang putera, yaitu:

1. Raja Naiambaton
2. Raja Nairasaon
3. Tuan Sorbadibanua
Mohon maaf terlebih dahulu, ya! Khusus Naiambaton (yg seharusnya/aslinya Nai Ambataon)dan Nairasaon (yg seharusnya/aslinya Nai Rasaon)tdk didahului kata “Raja”. Karena keduanya adalah Ibu. Kata “Nai” dlm bahasa Batak asli adalah pemanggilan (semacam “gelar”) agar pihak yg memanggil tdk merasa sungkan memanggil orang yg dipanggil tsb. Ditempat kelahiran saya, Peajolo/Simanindo (Samosir) hal ini masih dianggap elementer, namun sangat penting dlm etika berbicara & berkomunikasi. Orang yg dipanggil merasa kurang dihormati, jika ia dipanggil dgn nama kecil (buat saya pribadi tdk problem, krn kita sdh hidup dikota dan dipekerjaan kita, kita dipanggil dgn nama kecil). Semisal, saya (ini terjadi bulan lalu/Maret 2011 saat saya pulang ke Samosir). Anak saya no 1, bernama Ecliptian Christopher Pangoloan Sirait. Krn orang dikampung tak kenal anak saya, istimewa no 1, orang kampung bertanya pd keluarga dekat saya, nama anak saya. Dijawab “chris” (batak samosir melafalkan itu “kiris”, ha…ha…). Ditanya lagi, nama bataknya siapa, dijawab: “pangoloan”. Maka orang kampung menjadi plong dan bebas serta nyaman memanggil saya “amani pangoloan” sedang isteri saya dipanggil “nai pangoloan”. Demikianlah halnya atas dua nama yg saya comment diatas. Nai Ambaton (“panggoaran”), nama kecil ialah si Boru Anting-anting Sabungan(puteri dari Guru Tatea Bulan, apakah dia adik atau kakak dari si Boru Pareme, msh perlu ditelusuri)isteri pertama dari Ompu Tuan Sorimangaraja (anak dari Raja Isumbaon). Anak yg dilahirkan, satu, bernama Ompu Raja Tuan Nabolon. Namun ada penulis yg menyebut Ompu Tuan Sorbadijulu. Isteri kedua dari Sorimangaraja ialah si Boru Bidinglaut, yg kemudian “mar-panggoaran” Nai Rasaon. Melahirkan satu anak, bernama Datu Pejel. Namun, ada penulis menggunakan nama Ompu Tuan Sorbadijae. Kami-lah turunannya, Manurung, Sitorus, Sirait dan Butarbutar. Msh panjang cerita dibalik penyebutan 4 marga tsb. Isteri ketiga Sorimangaraja ialah Nai Suanon/ Nai Tungkaon. Dlm tarombo pomparan Guru Tateabulan, diberbagai literatur nama ini tdk tertulis. Ibu ini melahirkan satu anak, bernama Tuan Sorbadibanua. Dari Tuan Sorbadibanua lahir 8 putera, no 1 si Bagotnipohan, termasuk “Hula-hula anak manjae” SBY, keluarga Pohan. Satu diantara 8 itulah Silahi Sabungan, termasuk pak TB Silalahi. Satu lagi diantara 8 itu Raja Sobu, asal dari marga-marga Sitompul, si Raja Hasibuan kemudian (disamping msh tetap ada Hasibuan) menurunkan marga-marga Hutabarat( si Raja Nabarat/hula-hula saya), Panggabean (bercabang lagi dgn Simorangkir), Hutagalung, Huta Toruan (yaitu Hutapea-Tarutung/Silindung & Lumbantobing). Catatan: ada juga Hutapea di Laguboti, tapi punya tarombo tersendiri. Itu sebab dikondisikan, Tarutung/Silindung.

Khusus tentang turunan Ompu Raja Tuan Nabolon, menurut kebanyakan literatur adalah: No 1, si Bolontua (sampai sekarang masih satu) yg disebut Simbolon, no 2, Tambatua (1 Tonggor Dolok, 2 Lumban Tongatonga, 3 Lumbantoruan), no 3, Saragitua, no 4 Muntetua. Mereka dilahirkan oleh 2 Ibu: pertama, boru Pasaribu, kedua boru Malau (Silau Raja). Penyebutan nama anak-anaknya tsb oleh Ompu Tuan Nabolon pun, konon, tdk asal-asalan tapi harus bijaksana (wise), spt cerita Raja Salomo yg bijak, karena dilahirkan oleh 2 orang isteri. Ada isteri pertama dan ada isteri kedua. Istilah kerennya, poligami. Sebagai perbandingan, ingatlah Abraham. Anak-anaknya antara Ismael dgn Ishak. Yg lahir duluan kan Ismael, namun lahir dari pembantu, Hagar. Maka Ishak yg lahir dari sang “permaisuri”, itulah yg diberkati oleh Abraham dan Yahwe yg disembah oleh Abraham. Sekedar perbandingan saja lah.
Raja Nai Ambaton
Keturunan Raja Naiambaton dikenal sebagai keturunan yang terdiri dari berpuluh-puluh marga yang tidak boleh saling kawin (ndang boi masiolian). Kumpulan persatuan rumpun keturunan Raja Naiambaton disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Nai Ambaton).
Marga-marga keturunan Raja Naiambaton, antara lain: Simbolon, Tamba, Saragi, Munte. Dan cabang-cabangnya:

1. Simbolon Tua (Simbolon, Tinambunan, Tumanggor, Turutan, Pinayungan, Maha, Nahampun)
2. Tamba Tua (Tamba, Sidabutar, Sijabat, Siadari, Sidabalok)
3. Munte Tua (Munte, Sitanggang, Sigalingging)
4. Saragi Tua (Sidauruk, Saing, Simalango, Simarmata, Nadeak, Sidabungke, Rumahorbo, Sitio, Napitu)
Raja Nairasaon

Nairasaon adalah kelompok marga dari suku bangsa Batak Toba yang berasal dari daerah Sibisa Marga-marga keturunan Raja Nairasaon, anatara lain: Manurung, Sitorus (menurunkan Pane, Dori, Boltok), Sirait, Butarbutar, dan cabang-cabangnya.MANURUNG menurunkan HUTAGURGUR HUTAGAOL dan SIMANORONI.
Tuan Sorbadibanua
Tuan Sorbadibanua mempunyai 8 (delapan) putera, yaitu:

1. Sibagotnipohan
2. Sipaettua(Pangulu Ponggok, Partano Nai Borgin,Puraja Laguboti(Pangaribuan,Hutapea)
3. Silahisabungan
4. Raja Oloan
5. Raja Hutalima
6. Raja Sumba
7. Raja Sobu
8. Raja Naipospos
Sibagotnipohan
Sibagotnipohan sebagai cikal-bakal marga Pohan mempunyai 4 (empat) putera, yaitu:

1. Tuan Sihubil, sebagai cikal-bakal marga Tampubolon dan cabang-cabangnya
2. Tuan Somanimbil, sebagai cikal-bakal marga Siahaan, Simanjuntak, dan Hutagaol
3. Tuan Dibangarna, sebagai cikal-bakal marga Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, dan cabang-cabangnya
4. Sonak Malela, menurunkan marga Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede
Sipaettua
Marga-marga keturunan Sipaettua, antara lain: Hutahaean, Hutajulu, Aruan, Sibarani, Sibuea, Sarumpaet, Pangaribuan, dan Hutapea.
Raja Silahisabungan
9 (SEMBILAN) Anak Keturunan Silahisabungan dari 3 (TIGA) istri yakni :
Istri Pertama, Si Pinta Haomasan boru Raja Nabolon, anaknya :
1. Silahi Raja (Silalahi)
Istri Kedua, Si Pinggan Matio, anaknya :

1. Loho Raja (Sihaloho)
2. Tungkir Raja (Situngkir)
3. Sondi Raja (Rumasondi)
4. Butar Raja (Sinabutar)
5. Bariba Raja (Sinabariba)
6. Debang Raja (Sidebang)
7. Batu Raja (Pintu Batu)
Istri Ketiga, Si Milingmiling Boru Raja Mangarerak, anaknya :
1. Si Raja Tambun (Tambun/Tambunan)
Selain marga pokok di atas masih ada lagi marga marga cabang keturunan Silahisabungan, yakni : Sipangkar, Sembiring, Sipayung, Dolok Saribu, Sinurat, Nadadap, Naiborhu, Ambuyak, Sigiro, Daulay.
Raja Oloan
Raja Oloan mempunyai 6 (enam) orang putera, yaitu:

1. Naibaho, yang merupakan cikal-bakal marga Naibaho dan cabang-cabangnya
2. Sigodang Ulu, yang merupakan cikal-bakal marga Sihotang dan cabang-cabangnya
3. Bakara, yang merupakan cikal-bakal marga Bakara
4. Sinambela, yang merupakan cikal-bakal marga Sinambela
5. Sihite, yang merupakan cikal-bakl marga Sihite
6. Manullang, yang merupakan cikal-bakal marga Manullang
Raja Hutalima
Raja Hutalima tidak mempunyai keturunan
Raja Sumba
Raja Sumba mempunyai 2 (dua) orang putera, yaitu:

1. Simamora, yang merupakan cikal-bakal marga Purba, Manalu, Simamora Debata Raja, dan Rambe
2. Sihombing, yang merupakan cikal-akal marga Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, dan Hutasoit
SILABAN(BORSAK JUNJUNGAN) 1.SILABAN (BORSAK JUNGJUNGAN) 2.OP. RATUS 3.AMA RATUS 4.OP.RAJADIOMAOMA 5.a. DATU BIRA (SITIO); b. DATU MANGAMBE/MANGAMBIT (SIPONJOT) c. DATU GULUAN
Raja Sobu
Marga-marga keturunan Raja Sobu, antara lain: Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea, dan Lumban Tobing.
Raja Naipospos
Raja Naipospos mempunyai 5 (lima) orang putera yang secara berurutan, yaitu:

1. Donda Hopol, yang merupakan cikal-bakal marga Sibagariang
2. Donda Ujung, yang merupakan cikal-bakal marga Hutauruk
3. Ujung Tinumpak, yang merupakan cikal-bakal marga Simanungkalit
4. Jamita Mangaraja, yang merupakan cikal-bakal marga Situmeang
5. Marbun, yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol
Padan atau janji antar marga
Dalam suku bangsa Batak, selain marga yang satu nenek moyang (satu marga) ditabukan untuk saling kawin, dikenal juga padan (janji atau ikrar) antar marga yang berbeda untuk tidak saling kawin. Marga-marga tersebut sebenarnya bukanlah satu nenek moyang lagi dalam rumpun persatuan atau pun paradaton, tetapi marga-marga tersebut telah diikat padan (janji atau ikrar) agar keturunan mereka tidak saling kawin oleh para nenek moyang pada zaman dahulu. Antar marga yang diikat padan itu disebut dongan padan.
Marga-marga yang mempunyai padan khusus untuk tidak saling kawin, anatara lain:

1. Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
2. Naibaho dengan Sihombing Lumban Toruan
3. Nainggolan dengan Siregar
4. Tampubolon dengan Silalahi
5. dan lain sebagainya
Sihotang dengan Naipospos (Marbun)
Seluruh keturunan Raja Naipospos diikat janji (padan) untuk tidak saling kawin dengan keturunan Raja Oloan yang bermarga Sihotang. Sehingga Sihotang disebut sebagai dongan padan. Memang pada awalnya pembentuk janji ini adalah Marbun. Namun ditarik suatu kesepakatan bersama bahwa keturunan Raja Naipospos bersaudara (na marhahamaranggi) dengan keturunan Sihotang. Hal ini dapat dilihat bersama bahwa hingga saat ini seluruh marga NAIPOSPOS SILIMA SAAMA (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang-Marbun) tidak ada yang kawin dengan marga Sihotang. Pengalaman di lapangan bahwa memang ada-ada saja orang yang mempersoalkan padan ini. Mereka mengatakan bahwa hanya Marbun sajalah yang marpadan dengan Sihotang tanpa mengikutsertakan Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Perlu diketahui bersama bahwa telah ada ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) bahwa padan ni hahana, padan ni angina; jala padan ni angina, padan ni hahana (ikrar kakanda juga ikrar adinda dan ikrar adinda juga ikrar kakanda). Benar Marbunlah pembentuk padan pertama terhadap Sihotang. Tetapi oleh karena Marbun sebagai anggi doli Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang, maka turut juga serta dalam padan dengan Sihotang. Contoh lain dapat pula dilihat bersama bahwa sesungguhnya Sibagariang tidaklah ada ikrar (padan) sama sekali untuk tidak saling kawin (masiolian) dengan Marbun. Tetapi oleh karena Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang marpadan dengan Marbun untuk tidak saling kawin maka Sibagariang pun turut serta dengan sendirinya oleh karena ikrar (padan) para nenek moyang (ompu) yang telah disebutkan di atas. Sehingga suatu padan yang umum bahwa keturunan Raja Naipospos dari isteri I (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Raja Naipospos dari isteri II (Marbun).
Demikian pula halnya seluruh marga-marga keturunan Raja Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, dan Marbun Lumban Gaol) tidak boleh saling kawin dengan keturunan Sihotang.

sumber  : https://www.facebook.com/groups/220736511292593/ Timbul Ambarita